Satu Tujuan Seribu Jalan - BERPIKIR BIJAK,- Dalam ranah psikologi bahwa karekter manusia itu berjumlah 16 karakter, dan otomatis dengan jumlah tersebut menyebabkan satu sama lain saling berbeda sifat dan pemikiran. Kita sebagai makhluk IPS (red. Sosial) tentu membutuhkan penyesuaian agar interaksi antara sesama terjalin harmonis dan tujuanpun dapat tercapai.
Salahdua caranya dengan pemberian dan penerimaan. Ada kalanya kita memberi pendapat dan ada kalanya pula kita menerima pendapat. Dalam memberi tak usah memaksa, dalam menerima tak perlu membantah, itulah hakikat keharmonisan menurut versi saya. Jika ingin memaksa dalam memberi ataupun membantah dalam menerima hendaknya dengan cara yang baik, itulah yang di rumuskan Al-Qur’an.
Untuk membangun keharmonisan, entah itu individu antar individu ataupun antara individu dengan kelompok, sikap pemberian dan penerimaan harus tetap tertanam dalam diri masing-masing. Namun pada kenyataannya hal tersebut masih minim di terapkan, faktor yang paling mempengaruhinya tidak lain hanyalah merasa diri lebih baik dari orang lain. Mengherankan bukan, baik buruk hanya berdasarkan asumsi sendiri ?
Kita perlu menelisik lebih jauh kebelakang tentang orang-orang besar yang pernah hadir dalam sejarah. Bagaimana keharmonisan selalu terjalin sehingga tujuanpun dapat tercapai. Dalam bidang fiqh terdapat 4 Imam madzhab, dalam bidang tasawwuf terdapat kurang lebih 45 Imam Thariqoh yang mu’tabaroh dan dalam bidang bacaan Al-Qur’an terdapat 7 Imam Qiro’at.
Kesemua imam tersebut tidak pernah menyalahkan satu sama lain. Jika berbeda pendapat, mereka akan memberi dengan baik dan menerima dengan sikap yang baik pula. Karena satu tujuan mereka; untuk mendekatkan diri kekhadirat Yang Maha Esa dengan cara mereka masing-masing, namun tetap berada di atas rel.
Itulah kenapa Abdul Wadud Kasyful Humam menulis sebuah buku yang berjudul Satu Tuhan Seribu Jalan. Agar kita bisa lebih bijak dalam menyikapi berbagai situasi dan kondisi. Baik itu yang bersifat umum maupun religius.
Analogi sederhananya kurang lebih seperti ini. Ada banyak orang yang ingin pergi ke Jakarta dan semuanya berangkat dari kota masing-masing bahkan ada pula yang lintas provinsi. Hal itu menunjukkan bahwa untuk mencapai jakarta bisa lewat mana saja; bisa lewat jalur darat, laut maupun udara. Bisa di mulai dari jalan mana saja, jalan-jalan tikus bisa juga dari jalan-jalan gajah.. hehe (jalan raya maksudnya 😁 ). Demi satu tujuan, ingin menuju Jakarta.
Begitupun dalam menjalani kehidupan, apalagi yang menyangkut perasaan... ciiieeeeeee... perasaan... hihiiii
Dalam menjalin hubungan ada baiknya kedua insan tidak saling menuntut atau melarang ini dan itu. Mungkin tuntutan atau larangan tersebut itu baik, tapi coba fikir lagi. Apakah baik itu baik menurut kedua belah pihak atau hanya baik menurut referensi pribadi. Dalam menjalin hubungan, sikap pemberian dan penerimaan juga harus di terapkan, namun ada baiknya juga sikap pembiaran diadakan, jika alasannya demi kebaikan.
Sama halnya dengan orang-orang yang ingin menuju Jakarta dimana mereka hanya fokus pada satu tujuan, walaupun berasal dari tempat yang berbeda-beda. Begitu juga bagi para pecinta, tujuan mereka satu; mengharapkan kebahagiaan. Itukan ? Setiap pasangan pasti ingin mencapai kebahagiaan bersama, kebahagiaan duniawi dan ukhrowi.
Maka untuk meraihnya, harus ada hati yang senantiasa mengerti dan memahami, harus ada jiwa yang senantiasa mampu memberi dan menerima, harus ada ego yang ditiadakan, harus ada arogansi yang di musnahkan dan harus ada individualis yang di hancurkan.
Ada banyak hal yang hanya cukup kita tanggapi dengan penerimaan, tanpa pemaksaan, tanpa menjajah, tanpa memainkan telunjuk, tanpa menyuruh harus ini harus itu - jangan ini jangan itu, dengan tujuan agar orang lain sejalan dengan kita, menuruti apa yang kita inginkan. Itu namanya bukan menginginkan kebahagiaan, tapi pengeksploitasian.
Bagi saya pribadi jika tujuannya untuk sama-sama meraih kebahagiaan, aturan “harus-jangan” tidak begitu penting. Untuk apa aturan itu diterapkan jika salahsatu diantara kita merasa tidak nyaman atau bahkan sampai tersakiti. Bukankah dalam menjalin hubungan yang dibutuhkan itu adalah kenyamaan.
Nyaman di saat berbagi pikiran, nyaman di saat berbagi canda dan nyaman dalam segala hal. Bukan dengan tuntutan harus begini harus begitu – jangan begini jangan begitu. Akh sudahlah, lupakan tuntutan-tuntutan itu. Karena cinta itu menyamankan bukan menyusahkan, menyejukkan bukan menyesakkan dan membebaskan bukan mengekangkan. Toh yang paling penting itu kita sama-sama bahagia dan saling membahagiakan dengan cara kita masing-masing.
Saya rasa celoteh malamnya cukup sampai disini saja yaa, kebetulan waktu sudah mau merayap ke angka 3, sudah waktunya sahur. Untuk info lebih lanjut bisa menghubungi kantor pos terdekat... lah, emang tukang surat... hihiiii.
Terima kasih, Semoga bermanfaat...
Salahdua caranya dengan pemberian dan penerimaan. Ada kalanya kita memberi pendapat dan ada kalanya pula kita menerima pendapat. Dalam memberi tak usah memaksa, dalam menerima tak perlu membantah, itulah hakikat keharmonisan menurut versi saya. Jika ingin memaksa dalam memberi ataupun membantah dalam menerima hendaknya dengan cara yang baik, itulah yang di rumuskan Al-Qur’an.
Untuk membangun keharmonisan, entah itu individu antar individu ataupun antara individu dengan kelompok, sikap pemberian dan penerimaan harus tetap tertanam dalam diri masing-masing. Namun pada kenyataannya hal tersebut masih minim di terapkan, faktor yang paling mempengaruhinya tidak lain hanyalah merasa diri lebih baik dari orang lain. Mengherankan bukan, baik buruk hanya berdasarkan asumsi sendiri ?
Kita perlu menelisik lebih jauh kebelakang tentang orang-orang besar yang pernah hadir dalam sejarah. Bagaimana keharmonisan selalu terjalin sehingga tujuanpun dapat tercapai. Dalam bidang fiqh terdapat 4 Imam madzhab, dalam bidang tasawwuf terdapat kurang lebih 45 Imam Thariqoh yang mu’tabaroh dan dalam bidang bacaan Al-Qur’an terdapat 7 Imam Qiro’at.
Kesemua imam tersebut tidak pernah menyalahkan satu sama lain. Jika berbeda pendapat, mereka akan memberi dengan baik dan menerima dengan sikap yang baik pula. Karena satu tujuan mereka; untuk mendekatkan diri kekhadirat Yang Maha Esa dengan cara mereka masing-masing, namun tetap berada di atas rel.
Itulah kenapa Abdul Wadud Kasyful Humam menulis sebuah buku yang berjudul Satu Tuhan Seribu Jalan. Agar kita bisa lebih bijak dalam menyikapi berbagai situasi dan kondisi. Baik itu yang bersifat umum maupun religius.
Analogi sederhananya kurang lebih seperti ini. Ada banyak orang yang ingin pergi ke Jakarta dan semuanya berangkat dari kota masing-masing bahkan ada pula yang lintas provinsi. Hal itu menunjukkan bahwa untuk mencapai jakarta bisa lewat mana saja; bisa lewat jalur darat, laut maupun udara. Bisa di mulai dari jalan mana saja, jalan-jalan tikus bisa juga dari jalan-jalan gajah.. hehe (jalan raya maksudnya 😁 ). Demi satu tujuan, ingin menuju Jakarta.
Begitupun dalam menjalani kehidupan, apalagi yang menyangkut perasaan... ciiieeeeeee... perasaan... hihiiii
Dalam menjalin hubungan ada baiknya kedua insan tidak saling menuntut atau melarang ini dan itu. Mungkin tuntutan atau larangan tersebut itu baik, tapi coba fikir lagi. Apakah baik itu baik menurut kedua belah pihak atau hanya baik menurut referensi pribadi. Dalam menjalin hubungan, sikap pemberian dan penerimaan juga harus di terapkan, namun ada baiknya juga sikap pembiaran diadakan, jika alasannya demi kebaikan.
Sama halnya dengan orang-orang yang ingin menuju Jakarta dimana mereka hanya fokus pada satu tujuan, walaupun berasal dari tempat yang berbeda-beda. Begitu juga bagi para pecinta, tujuan mereka satu; mengharapkan kebahagiaan. Itukan ? Setiap pasangan pasti ingin mencapai kebahagiaan bersama, kebahagiaan duniawi dan ukhrowi.
Maka untuk meraihnya, harus ada hati yang senantiasa mengerti dan memahami, harus ada jiwa yang senantiasa mampu memberi dan menerima, harus ada ego yang ditiadakan, harus ada arogansi yang di musnahkan dan harus ada individualis yang di hancurkan.
Ada banyak hal yang hanya cukup kita tanggapi dengan penerimaan, tanpa pemaksaan, tanpa menjajah, tanpa memainkan telunjuk, tanpa menyuruh harus ini harus itu - jangan ini jangan itu, dengan tujuan agar orang lain sejalan dengan kita, menuruti apa yang kita inginkan. Itu namanya bukan menginginkan kebahagiaan, tapi pengeksploitasian.
Bagi saya pribadi jika tujuannya untuk sama-sama meraih kebahagiaan, aturan “harus-jangan” tidak begitu penting. Untuk apa aturan itu diterapkan jika salahsatu diantara kita merasa tidak nyaman atau bahkan sampai tersakiti. Bukankah dalam menjalin hubungan yang dibutuhkan itu adalah kenyamaan.
Nyaman di saat berbagi pikiran, nyaman di saat berbagi canda dan nyaman dalam segala hal. Bukan dengan tuntutan harus begini harus begitu – jangan begini jangan begitu. Akh sudahlah, lupakan tuntutan-tuntutan itu. Karena cinta itu menyamankan bukan menyusahkan, menyejukkan bukan menyesakkan dan membebaskan bukan mengekangkan. Toh yang paling penting itu kita sama-sama bahagia dan saling membahagiakan dengan cara kita masing-masing.
Saya rasa celoteh malamnya cukup sampai disini saja yaa, kebetulan waktu sudah mau merayap ke angka 3, sudah waktunya sahur. Untuk info lebih lanjut bisa menghubungi kantor pos terdekat... lah, emang tukang surat... hihiiii.
Terima kasih, Semoga bermanfaat...
______________________
Senin 10 Ramadhan 1438 H
×Tutup
Apakah artikel ini menginspirasi ? Jika iya, luangkan waktu Anda untuk mengklik dan melihat salah satu iklan yang tampil agar situs ini tetap berkembang. Terima kasih !
Apakah artikel ini menginspirasi ? Jika iya, luangkan waktu Anda untuk mengklik dan melihat salah satu iklan yang tampil agar situs ini tetap berkembang. Terima kasih !
EmoticonEmoticon