JERIT BATIN SANG PENULIS

Jerit Batin Sang Penulis,- Suatu malam ketika berkumpul bersama keluarga, ayah memanggilku. Ku penuhi panggilan beliau dengan penuh rasa hormat. Ketika ku menundukan diri dihadapannya, dengan suara tegas tiba-tiba ayah berbicara dengan nada tegas.
Derita sang penulis, lika-liku sang penulis, jalan hidup sang penulis

“Untuk apa kamu setiap hari nulis ? Apa sih yang kamu dapatkan dari pekerjaanmu itu ? Kamu dapat uang yang banyak kayak Novelis favoritmu, Habiburrahman El-Shirazy itu ? Enggak kan ?”

Aku diam. Tak sanggup rasanya untuk menatap tatapan tajamnya. Beliau sepertinya kesal melihatku yang selalu menghabiskan waktu dengan tangan di atas keyboard. Ayah ingin agar aku segera mendaftar pada pekerjaan yang layak. Bukan terus menghabiskan waktu dengan menulis.


Batinku rasanya menjerit ketika keinginanku berbenturan dengan keinginan orangtuaku. Yaa, sebagai orangtua tentunya beliau mengharapkan yang terbaik bagi anaknya, termasuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Tapi batinku selalu menolaknya, rasanya aku tidak mau bekerja dengan aturan orang lain. aku ingin bebas, aku ingin mandiri, aku ingin mengembangkan bakatku. Namun sayangnya, paradigma pekerjaan antara aku dan ayah sangat berbeda.


“Sudahlah,  jangan terus menulis ! Coba cari pekerjaan yang bisa menjamin hari tuamu. Ayah punya banyak relasi, kalau kamu mau, ayah bisa minta mereka untuk memasukanmu. Kau kan sudah sarjana, seharusnya sudah selayaknya kamu mencari pekerjaan yang layak. Setelah itu coba ikut CPNS. Jangan terus berkutik didepan laptopmu !” Lanjut Ayah agak menurunkan jerit suaranya.

Aku masih tertunduk. Perlahan, dengan suara lirih ku coba balas dengan lembut ucapan ayah.

“Iya Ayah. Fahmi akan menuruti apa yang Ayah katakan. Besok Fahmi akan membuat surat lamaran.” Jawabku dengan suara yang lemah hampir tak terdengar. Batinku menjerit. Ada kontradiksi antara materi ajar kewirausahaan yang aku pelajari dan perkataan Ayah. 


Ada pertentangan antar hukum ekonomi makro dengan mindset pekerjaan ayah. Ada dimensi berbeda antara bunyi hadits dengan keinginan Ayah. Ada cara yang berbeda untuk melihat post kolonialisme Ayah dan anaknya yang beranjak dewasa ini.

Aku yang pengagum postkolonialisme ini menganggap bahwa menjadi PNS adalah pekerjaan mirip juru tulis saat penjajahan Belanda. Menjadi kelas ketiga setelah kaum Eropa dan keturunan. Mereka adalah penguasa dan pengusaha. Sedangkan juru tulis orang pribumi adalah pegawai administrasi untuk membuat mereka lebih kaya. 


Pekerjaannya banyak tapi tak menghasilkan kekayaan. Waktunya terkuras tapi tak bisa dibanggakan. Pikirannya tertekan tapi tak pernah bisa menikmati hasil pikirannya. Aku tak mau seperti itu.

Ayah yang pengagum realisme dan essensialisme hanya menginginkan aku mengikuti aturan zaman yang suka tidak suka, mau tidak mau memiliki aturan yang memaksa. Menjadi PNS saat ini lebih terhormat walau gajihnya tidak besar. Status lebih tinggi dari pekerja lain walau untuk hidup tak bisa kaya. Masa tua yang terjamin dan paling tidak memiliki “jaminan” pekerjaan yang tetap. Semua orang realisme berbondong-bondong melamar pekerjaan macam ini. Aku ? “Tidak mau” Tolak batinku.


Ayah tersenyum. Ia mengangkat daguku dan mengusap lembut wajahku. “Ayah sayang padamu nak. Engkau akan tahu makna perkataan Ayah saat ini. Percayalah pada Ayah.” Tutupnya sambil meninggalkan kamarku dan meninggalkan selembar kertas berisikan daftar perusahaan teman-temannya.


“Aku lebih mengerti darimu Ayah. Tapi, Ridhomu lebih aku inginkan dari sekedar menernakan egoku. Maafkan aku ayah.” Batinku dalam hati. Aku lihat badan tegap Ayah yang keluar dari pintu kamarku. Aku perhatikan kepalanya yang mulai membotak. Kondisinya lebih menua ketimbang lima tahun yang lalu. Kulitnya terasa lebih cepat keriput dari pada beberapa tahun yang lalu. Mungkin ia kecapaian menjadi pegawan Bank yang super ketat,



***

Pagi harinya ku coba menemui temanku, aku konsult kepadanya tentang percakapan antara aku dengan ayah kemarin.


“Bener Mi, Bapakmu itu benar banget. Coba lihat, sekarang yang dibilang zaman now itu adalah zaman ketidak mandirian. Kuliah untuk mencari kerja yang enak. Kerja yang lebih menjamin. Kerja yang tidak usah keringat bercucuran. Anti-kerja keras dan kalau bisa kaya dengan bermodal tanda tangan. Kuliah di pertanian, tapi bukan untuk basah kuyup di sawah. Tapi untuk bekerja di Departemen Pertanian” Jawab Fahrul.


“Iya sih. Aku tahu itu. Namun, apakah menjadi penulis tidak prospektif gitu ? Aku ingin menggali kemampuanku dan membantu Indonesia dengan caraku sendiri. Menjadikan negeri yang literasinya lebih hebat. Membangun generasi muda yang unggul dalam literasi. Kita terpuruk untuk urusan literasi. 


Generasi muda yang gadget lover hampir melupakan literasi ini Rul.” Responku. Aku tak tahu, aku begitu menggebu ingin sekali mengembangkan bakatku menjadi seorang penulis hebat macam Habiburrahman El-Shirazy yang menjadi novelis terbaik seIndonesia.

“Yaaaa Fahmi. Kau bisa bilang gitu, oke kamu benar. Kamu ideal. Tapi statistik ini bisa kau pertimbangkan yah. Nih, toko buku Gunung Agung, tahu kan ? Sekarang bangkrut Mi. Itu Toko buku yang terakhir gulung tikar dari puluhan toko buku yang lebih kecil. Toko buku sekarang yang masih hidup hanya Gramedia. Itu pun pertumbuhannya hanya satu persen. Apa yang buat Gramed bisa hidup?  Lihat aja, toko buku zaman now, ada kosmetik, ada gitar, ada hot wheel, ada boneka, ada macam-macam. Balas Fahrul.“Rul, emangnya jadi penulis zaman now itu tidak prospektif yah ?” tanyaku lagi penasaran. melihat jawaban yang super informatif dari Fahrul, aku jadi yakin atas pengetahuan isi kepalanya.


“Ya begitulah. Apalagi sempat beredar kabar tentang pajak buku yang selangit. Tere Liye saja yang omset di Gramed sekitar tiga ampe empat milyar perbulan ingin menarik bukunya karena kasus ini. Coba pikir, gimana Gramed takutnya bila bukunya jadi ditarik. Buku macam dia itu sangat diminati, kalau tidak ada ? Ya bangkrut lah ia.” Lanjut Fahrul meyakinkan.


“Terus, sekarang saya harus gimana ? Saya ingin tetap jadi penulis.


“Itu terserah kamu, Mi. Hidup ini pilihan. Kalau kamu mau terus menulis, itu adalah panggilan jiwamu. Ia adalah hobi yang tidak semua orang bisa. Ia adalah pekerjaan yang bisa disenyawakan dengan pekerjaan lain, semisal dosen, semisal PNS guru, semisal apapun yang membuatmu banyak waktu untuk berpikir. Kamu pasti tahu jawabannya.” Jawab Fahrul dengan sangat meyakinkan.


“Jadi, aku jadikan menulis sebagai hobi dengan bekerja di bidang lain itu maksudmu Rul ?” tanyaku kembali yang membuat Fahrul makin bersemangat. Ia membalikan tubuhnya dan bersiap menjawab ala para tokoh bintang tamu pada pogram ILC di TVOne.


“Yah up to you itu mah Mi. Live is a choice. Kalaupun kamu mau jadi penulis, mungkin kamu bisa pertimbangkan ini. Buku yang paling laris di toko buku itu lebih dari duapuluh lima persen dikuasai buku anak-anak. Jadi penulis buku anak di zaman now lebih prospektif dibanding buku lainnya. Selanjutnya buku religi, terutama Islam. Statistiknya menunjukan hampir menyentuh dua puluh persen, namun isi dari dua puluh persen itu, enam puluh persennya adalah Al Qur’an, jadi bukan buku penulis, tapi menjual cetakan Qur’an. Ketiga, kamu bisa bisa milih jadi penulis fiksi.


Statistiknya lumayan sekitar lebih sepuluh persenan. Jadi, buku macam novel, cerpen dan cerita-cerita lebih diminati dari tulisan-tulisan lainnya, terutama referensi. Buku macam referensi yang kaku dan rigid kayaknya tidak terlalu laku di toko. Silahkan kamu pilih mau jadi apa. Gratis kok milihnya Mi, hehe.” Jawab Fahrul dibarengi tawa kecil.

“Ternyata kamu pinter juga yaa Rul. Ini valid kan Rul ?”


“Yaa valid lah, gini-gini juga saya kan sering baca-baca.”


Aku berpikir. Aku merenung. Aku tatap wajah Fahrul yang terlihat tenang namun dalam untuk sebuah pengetahuan. Kalimatnya menusuk dan paling tidak menjadi justifikasi Ayahku yang mengatakan bahwa boleh menulis tapi harus punya pekerjaan tetap.



***

Sore harinya aku coba keluhkan persoalanku kepada ibu. Seorang ibu yang menjadi segalanya bagiku. Sejak kecil, ibu tidak pernah menyuruhku harus ini harus itu. bagiku ibu lebih bijak daripada ayah. Setiap ada keluhan, aku hanya selalu menceritakannya kepada ibu. Jawab-jawaban dari ibu, lebih menenangkan ketimbang ayah.


“Bu, maafin Fahmi yang membuat Ayah marah. Fahmi sekarang mengerti kok perkataan Ayah.” Ucapku dalam pelukan Ibu. Dalam hangat pelukannya ada rasa cinta yang mendalam dari seorang Ibu.


“Iya sayang. Kamu gak usah merasa bersalah. Apa yang Ayah pikirkan belum tentu benar dalam cara berpikirmu. Kamu dikuliahkan itu agar kamu bisa berpikir kritis, berpikir kreatif dan bisa memecahkan masalah. Semakin kau bisa mandiri, bagi Ibu, kau semakin sukses. Apapun pekerjaan kamu, Ibu dukung. Menjadi apapun kau nantinya, Ibu harus bersyukur telah membuatmu lebih dewasa dalam memandang kehidupan.” Jawab Ibu.


Jleeb. Kata-katanya penuh dengan kharisma. Beda dengan Ayah yang agak memaksa. Yah, mungkin Ibu lebih menginginkan aku menjadi diriku. Menjadi apa yang aku suka. Walaupun ibu sepakat dengan Ayah.


“Iya bu, terimakasih untuk segalanya. You are my everything.” Lirihku sambil menyembunyikan rasa banggaku atas seseorang yang menjadi tempatku meraih surgaNya.


“Kalau kamu ingin jadi penulis. Jadilah penulis hebat. Jangan setengah-setengah. Kebanyakan para tokoh dunia itu penulis. Mereka dikenang terus karena tulisannya. Kau bisa lihat Al Ghazali, Imam Syafi’i, Ibnu Sina, Darwin, Aristoteles, Plato, Descartes, Buya Hamka. Ibu sangka, kalau mereka tidak menulis, mereka sudah dilupakan zaman. Nama mereka lebih panjang usianya daripada zamannya. Itulah kehebatan penulis. Kamu harus seperti mereka.” Ucap Ibu menyemangatiku.


“Tapi bu, penulis di zaman sekarang tidak prospektif. Bila finasial yang diharapkan, maka e-book lebih dipilih. Bila kita berharap dipublikasi oleh penerbit mayor, maka mereka sangat hati-hati saat ini. Sepertinya aku ingin ikuti kata Ayah saja. Menjadi pekerja yang menjamin daripada terombang ambing oleh PHP profesi menulis bu.” Terangku untuk menjelaskan kegalauanku pada Ibu.


“Itu kembali kepada hatimu nak. Kalau kau menulis karena ingin memiliki sejumlah uang, maka kau harus seprofesional mungkin untuk menjadi penulis. Tirulah mereka yang telah sukses menjadi penulis hebat. Uang pasti datang melebihi gaji ayahmu. Namun bila kau ingin menyebarkan ilmu, maka kau harus meniru para penulis kitab kuning. Ahli warisnya tak pernah menanyakan royaltinya.


Mereka berharap ilmu yang ditulisnya bermanfaat dan mengantarkan kepada Surga-Nya. Jagalah hatimu nak, menulis itu lebih tajam daripada pedang. Kerja kerasmu dalam menulis akan membuatmu lebih tawadhlu. Akan membuatmu lebih mengerti akan kehidupan. Lebih paham akan arti kemanusiaan. Menjadi apapun, kau harus tetap menulis. Itulah yang Ibu inginkan darimu.” Jawab Ibu.

Mataku terasa sayu, ucapan lembut dari sang ibu terasa begitu meresap dan menyejukan sanubariku yang kering. Dengan mata berkaca-kaca, aku cium jemari lembutnya. Kini, aku lebih mengutamakan apa yang dikatakan ibuku. Dan keinginan ayah untukku, aku jadikan sebagai sampingan. Aku ingin seperti mereka yang namanya tercatat dalam buku sejarah, yang buku-bukunya masih tetap dibaca sampai sekarang.

This Is The Newest Post