HILANGKAN AKU DARI AKU

Melihat pemandangan di dalam pesawatHilangkan Aku dari Aku,- Menuju Cappadocia, di dalam pesawat Turkey Airline, Khudory melirik jendela. Dibawahnya terlihat petak demi petak daratan terlewati, bangunan demi bangunan nampak begitu kecil. Termasuk kota Ankara yang menjadi ibu kota Republik Turki. Gedung-gedung yang tinggi menjulang itu, laksana tumpukan krikil kecil yang bertebaran. Bahkan orang-orang yang menghuninya pun tak terlihat sama sekali.

Ia perlahan memejam, sementara mata hatinya terbuka. Hati dan pikiran menasehati akan sebuah kebodohan dirinya. Iya, bangunan-bangunan yang terlihat kecil itu telah menjadi perantara Tuhan untuk menegur dirinya. Kenapa ia sebagai manusia begitu sombong dan angkuh, padahal di bawah sana ia menyaksikan sendiri bagaimana manusia-manusia itu tak ubahnya seperti debu yang tak terlihat sama sekali.


Sering kali lisannya melontarkan ucapan yang seolah-olah hasil memuaskan yang telah didapatnnya itu adalah karena usahanya, karena sebab dirinya “Semua itu kan karena usaha saya.... Jika tidak ada saya, takkan mungkin seperti ini, takkan bisa berhasil seperti ini..” Dan ucapan-ucapan lainnya yang menunjukan keangkuhan dan kesombongan diri.


Kesadaran Khudory terus masuk menyusuri palung jiwanya, bertanya-tanya pada diri sendiri. Apa yang membuat seonggok daging yang berakal itu menginjak bumi dengan dada membusung ? Apa karena pengetahuannya ? Bukankah semua itu merupakan pemberian dari-Nya yang harus senantiasa disyukuri ? Atau karena kelebihan yang dimilikinya ? Atau karena kehebatannya yang lain ? Jelas bukan.


Sejatinya manusia itu tidak ada yang hebat, ia menjadi hebat karena dihebatkan oleh-Nya, dan ia menjadi pintar karena dipintarkan oleh-Nya. Lalu kenapa ia sebagai manusia begitu ingkar mensyukuri nikmat Tuhan ? Dan dengan sombongnya, ia berjalan dengan penuh keangkuhan. Segala upaya yang dicapainya merasa bahwa itu adalah karena kehebatannya, merasa bahwa diri lebih unggul dari orang lain.


Khudory terus menunduk, mentafakkuri diri dan bermuhasabatunnafsi. Bibirnya terus melirihkan istighfar atas setiap langkah dan waktu yang telah ia lewati, yang hanya di isi oleh rasa bangga atas prestasi, kinerja kerja dan juga keangkuhan-keangkuhan lainnya. Sedangkan pada hakikatnya, manusia tidak ada yang benar-benar mutlak mendapatkan apa yang ia cita-citakan. Semua itu karena ditopang oleh kehendak Illahi.


Khudory pun tertegur oleh mutiara hikmah yang terhambur dari ucapan Imam ahli ma’rifat, Syekh Ibnu Athoilah



سَوَابِقُ الْهِمَمِ لاَ تَحْرِكُ أْسْوَرَ الْأَقْدَارِ

“Kehebatan yang menggebu-gebu, takkan pernah bisa menembus dinding-dinding takdir.”


Tafakkur Khudory semakin dalam menyusuri lorong-lorong jiwanya,  ucapan Syekh Ibnu Athoilah itu layaknya cahaya yang menerobos masuk menerangi kegelapan hatinya yang penuh dengan pekatnya dosa dan hitamnya maksiat atas kesombongan dan keangkuhan diri. Ia tersadarkan bahwa sesungguhnya tidak ada yang harus di istimewakan dalam diri. Apa yang menjadi istimewa ? Sementara ia layaknya boneka tak bernyawa yang diperankan Tuhan, dan kehebatan apapun yang dimilikinya, tak pernah lepas dari kemaha lihaian jari jemari Tuhan.



Hamba hanya sekedar wayangMu

Semua yang ia anggap sebagai miliknya itu, seiring berjalannya waktu semua itu akan kembali kepada Sang pemilik sejati. Raga akan hancur ditelan bumi, dan ruh yang mengisinya pun akan kembali ke pangkuan Illahi. Sementara harta dan kekuasaan, entah sudah kemana. Lalu apa yang menjadi kebanggaan dan disebut-sebut miliknya itu ? Tidak ada. Manusia tidak memiliki apapun walau hanya sehelai rambut atau seutas benang sekalipun. Khudory merenungi makna mendalam dari jati diri orang sunda yang sejatinya manusia tak ada kuasa sedikit pun.
Takdir teu bisa dipungkir, kadar teu beunang  dipungkas. Diri ngan saukur sasampiran, awak ngan ukur sasampayan, umur ngan ukur gagaduhan. Sing ingeut, yen urang mah teu ngaboga-boga. Pangarti nu jadi ciri, Kagagahan anu rongkah, Kapangkatan anu dipiwegah, Percuma lamun teu dibarengan ku kaimanan jeung kataqwaan mah.
“Laa haula wa laa quwwata illaa billaah”  Lirih Khudory yang pikirannya terus menelisik masuk menjelahi setiap ruangan sampai ke dasar jiwanya. Hatinya bergemuruh hebat tatkala harus mentafakkuri kealfaan diri. Akhirnya ia pun tersadar bahwa semakin tinggi kemulyaan seseorang, harus semakin merasa kecil. Karena tak sepantasnya manusia merasa sombong atas apapun yang ada ditangannya.

Seseorang pun harus bisa lebih mawas diri, apakah yang dimilikinya itu bisa mendatangkan rahmat Allah atau justru sesuatu yang ia miliki itu seperti menjadikannya seekor tikus yang menikmati ikan, padahal ikan tersebut telah ditaburi racun. Khudory pun kembali teringat mutiara lain yang terlontar dari lisan Syekh Ibnu Athoillah.



خَفْ مِنْ وُجُوْدِ إِحْسَانِهِ إِلَيْكَ وَدَوَامَ إِسَاءَتِكَ مَعَهُ أَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ إِسْتِجْرَاجًا لَكَ

“Khawatirlah, terhadap kebaikan yang Dia berikan kepadamu sementara engkau terus melakukan kejelekan (merasa berbangga diri, atau melakukan kelalaian). Karena bisa jadi hal tersebut merupakan istijroj  (panyungkun) untukmu.”


“Astaghfirullah al-‘azhiim”  Lirih Khudory menunduk dengan telapak tangan menutupi wajah. Ucapan Imam ahli tasawwuf  itu menyadarkannya dari segunung nafsu yang membutakan jiwa. Ia tersadar bahwa nafsu yang melingkup dirinya, telah menjadikan karunia-karunia yang Allah berikan untuknya itu, membuatnya buta akan anugrah yang diberikan-Nya.


Sering kali ia malah menggunakan anugrah itu hanya untuk mengikuti keinginan nafsu sesaat, hanya untuk memuaskan hasratnya saja. Tanpa ia sadar bahwa sewaktu-waktu keinginan-keinginan semunya itu bisa menjeratnya pada rantai-rantai kesengsaraan. Seharusnya sebagai seorang mu’min, ia harus mengikuti titah sang Nabi sebagai pribadi Al-Kayyis ( Yang Cerdas)  yang selalu mawas diri dan berupaya menundukan nafsunya serta beramal demi akhiratnya. Bukan menjadi pribadi Al-Ahmaq (Yang Bodoh) yang selalu memperturuti hawa nafsunya dan meninggikan angan-angannya; yang selalu menjadikan maha ampunan Allah sebagai tameng bagi dirinya untuk terus melakukan maksiat.


Seraya menutup wajah, Khudory pun lirih berdoa.



يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيْثُ أَصْلِحْ لِيْ شَأْنِيْ كُلُّهُ وَلاَ تَكِلْنِيْ إِلَى نَفْسِيْ وَلاَ إِلَى أَحَدٍ مِنْ طَرْفَةَ عَيْن

“Wahai Dzat Yang Maha hidup lagi Maha Berdiri Sendiri, dengan rahmat-Mu aku mohon pertolongan. Semoga Engkau memperbaiki seluruh urusanku. Dan semoga Engkau tidak  menyerahkan urusanku kepada diriku dan tidak pula kepada orang lain, walau sedikit saja."


EmoticonEmoticon