Ku hadapkan wajahku ke arah cermin, betapa berbeda. Betapa berbeda. Ternyata apa yang tampak di dalam cermin berbeda dengan apa yang tersembunyi. Aku telah tertipu, yaa aku tertipu oleh topeng. Apa yang kulihat selama ini hanya sebuah topeng belaka.
Betapa banyak pujian yang terhambur, ternyata hanyalah memuji sebuah topeng. Apa yang terlihat indah, ternyata hanya sebuah topeng. Sementara aku, aku tidak lain hanyalah seonggok sampah yang terbungkus oleh kulit.
Ketika ku tatapkan wajahku ke arah cermin, hatiku berbisik"
"Apakah nanti wajah ini kan mengungkapkan ekspresi kegembiraan ketika sang penjemput bertandang. Atau justru wajah ini kan menunjukan rasa takut kepadanya ? Apakah kelak wajah ini kan bercahaya, atau justru menghitam legam dibakar neraka ?
Ku arahkan pandanganku kepada mata, nampak jelas sorot refleksi cahaya yang terpancar dari hitam mataku. Hatiku pun kembali bertanya "Apakah mata ini yang nantinya kan menatap penuh wajah-Nya dengan penuh suka cita dan kegembiraan, atau justru mata ini kan terbelalak menahan sakit tak terkira ? Mata inikah yang kelak kan menumpahkan air mata kerindukan dihadapan kekasihNya, atau justru ia kan menumpahkan air mata darah karena menahan perih yang tak terhingga.
Pandanganku pun mengarah ke mulut, hatiku kembali bertanya:
"Apakah mulut ini yang nantinya kan mengucap lirih penuh nikmat lafadz ‘Laa Ilaaha Ilallaah muhammadar rasuulullah’, atau justru mulut ini kan menganga dengan lidah menjulur ? Apakah mulut ini yang kelak kan merasakan lezatnya meminum air yang lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, atau justru mulut ini kan merasakan getirnya buah zaqum, penghangus dan penghancur usus ?"
"Hal apakah yang selama ini engkau ucapkan wahai mulut ? Apakah waktumu diperbanyak dengan memohon dan mengucap syahdu memuji-Nya, atau justru waktumu diperbanyak dengan ucapan yang mengundang murka-Nya ?"
"Entah sudah berapa banyak dusta yang engkau ucapkan ? entah sudah berapa banyak, hati yang remuk dan hancur oleh pisau kata-katamu yang mengiris tajam. Dan entah sudah berapa banyak kata-kata semanis madu, namun menipu."
Ku arahkan pandanganku pada sekujur tubuhku. Nampak jelas postur tegap, dengan kaki dan tangan yang masih kuat. Hatiku kembali berbisik:
"Apakah tubuh ini yang nantinya kan penuh cahaya, bersukacita, bercengkrama dengan para sholihin dan shiddiqin, atau justru tubuh ini yang akan tercabik-cabik hancur, mendidih di dalam lahar, dan terpasung tanpa ampun. Merasakan derita yang tak pernah berakhir ?"
"Wahai tubuh, entah sudah berapa banyak maksiat yang selama ini engkau perbuat. Entah sudah berapa banyak orang-orang yang telah engkau dzalimi. Entah sudah berapa banyak hamba-hamba Allah yang engkau tindas. Entah sudah berapa banyak orang-orang yang membutuhkan pertolongan, engkau acuhkan, padahal engkau mampu. Dan entah sudah berapa banyak hak-hak orang lain yang engkau rampas."
Dan ku arahkan pandangan ke dada sebelah kiri. " DIsana kah ? Disana kah hati itu bersamayam ? Apakah isi hati ini sebagus kata-kata yang biasa terlontar, atau justru sekotor daki yang melekat pada kulit ?
Seperti apa gerangan isi hati ini ? Apakah hati ini segagah otot-otot yang mampu mengangkat beban berat, atau justru hati ini selemah daun kering yang sudah lemah menggenggam ranting ? Apakah hati ini seindah penampilan zhahir, atau justru sebusuk bangkai ? Penampilan zhahir hanya untuk menutupi kebusukan hati saja.
Aku pun terdiam. Ku pejamkan mata, menarik napas panjang, merenungi hujaman pertanyaan yang menghujani diri. Dari semua pertanyaan itu, aku sadar, diriku yang lain tidak membutuhkan jawaban, tapi pembuktian. Pembuktian untuk terus berusaha menjadi lebih baik lagi. Karena masa depan kita, tergantung apa yang kita lakukan hari ini.
Dan aku pun teringat papatah orang Sunda:
Betapa banyak pujian yang terhambur, ternyata hanyalah memuji sebuah topeng. Apa yang terlihat indah, ternyata hanya sebuah topeng. Sementara aku, aku tidak lain hanyalah seonggok sampah yang terbungkus oleh kulit.
Ketika ku tatapkan wajahku ke arah cermin, hatiku berbisik"
"Apakah nanti wajah ini kan mengungkapkan ekspresi kegembiraan ketika sang penjemput bertandang. Atau justru wajah ini kan menunjukan rasa takut kepadanya ? Apakah kelak wajah ini kan bercahaya, atau justru menghitam legam dibakar neraka ?
Ku arahkan pandanganku kepada mata, nampak jelas sorot refleksi cahaya yang terpancar dari hitam mataku. Hatiku pun kembali bertanya "Apakah mata ini yang nantinya kan menatap penuh wajah-Nya dengan penuh suka cita dan kegembiraan, atau justru mata ini kan terbelalak menahan sakit tak terkira ? Mata inikah yang kelak kan menumpahkan air mata kerindukan dihadapan kekasihNya, atau justru ia kan menumpahkan air mata darah karena menahan perih yang tak terhingga.
Pandanganku pun mengarah ke mulut, hatiku kembali bertanya:
"Apakah mulut ini yang nantinya kan mengucap lirih penuh nikmat lafadz ‘Laa Ilaaha Ilallaah muhammadar rasuulullah’, atau justru mulut ini kan menganga dengan lidah menjulur ? Apakah mulut ini yang kelak kan merasakan lezatnya meminum air yang lebih putih dari susu dan lebih manis dari madu, atau justru mulut ini kan merasakan getirnya buah zaqum, penghangus dan penghancur usus ?"
"Hal apakah yang selama ini engkau ucapkan wahai mulut ? Apakah waktumu diperbanyak dengan memohon dan mengucap syahdu memuji-Nya, atau justru waktumu diperbanyak dengan ucapan yang mengundang murka-Nya ?"
"Entah sudah berapa banyak dusta yang engkau ucapkan ? entah sudah berapa banyak, hati yang remuk dan hancur oleh pisau kata-katamu yang mengiris tajam. Dan entah sudah berapa banyak kata-kata semanis madu, namun menipu."
Ku arahkan pandanganku pada sekujur tubuhku. Nampak jelas postur tegap, dengan kaki dan tangan yang masih kuat. Hatiku kembali berbisik:
"Apakah tubuh ini yang nantinya kan penuh cahaya, bersukacita, bercengkrama dengan para sholihin dan shiddiqin, atau justru tubuh ini yang akan tercabik-cabik hancur, mendidih di dalam lahar, dan terpasung tanpa ampun. Merasakan derita yang tak pernah berakhir ?"
"Wahai tubuh, entah sudah berapa banyak maksiat yang selama ini engkau perbuat. Entah sudah berapa banyak orang-orang yang telah engkau dzalimi. Entah sudah berapa banyak hamba-hamba Allah yang engkau tindas. Entah sudah berapa banyak orang-orang yang membutuhkan pertolongan, engkau acuhkan, padahal engkau mampu. Dan entah sudah berapa banyak hak-hak orang lain yang engkau rampas."
Dan ku arahkan pandangan ke dada sebelah kiri. " DIsana kah ? Disana kah hati itu bersamayam ? Apakah isi hati ini sebagus kata-kata yang biasa terlontar, atau justru sekotor daki yang melekat pada kulit ?
Seperti apa gerangan isi hati ini ? Apakah hati ini segagah otot-otot yang mampu mengangkat beban berat, atau justru hati ini selemah daun kering yang sudah lemah menggenggam ranting ? Apakah hati ini seindah penampilan zhahir, atau justru sebusuk bangkai ? Penampilan zhahir hanya untuk menutupi kebusukan hati saja.
Aku pun terdiam. Ku pejamkan mata, menarik napas panjang, merenungi hujaman pertanyaan yang menghujani diri. Dari semua pertanyaan itu, aku sadar, diriku yang lain tidak membutuhkan jawaban, tapi pembuktian. Pembuktian untuk terus berusaha menjadi lebih baik lagi. Karena masa depan kita, tergantung apa yang kita lakukan hari ini.
Dan aku pun teringat papatah orang Sunda:
“Ulah nuduh kanu jauh, ulah nyawang kanu anggang. Nu caket geura raketan; nu deukeut geura deuheusan. Moal jauh tina wujud, moal anggang tina awak. Aya naon jeung aya saha dina diri sorangan? Cirina satangtung diri. Pek geura panggihan heula ku sorangan. Ulah waka nyaksian batur; saksian heula diri sorangan. Ari elmu teh kanyaho. Lamun geus nyaho bakal ca’ang. Lamun geus ca’ang bakal nya’angan”
ALLAHU A'LAM BISH-SHOWAB
KEYWORD: | |
* cara muhasabah diri
* muhasabah diri islami
* contoh muhasabah diri
* selalu muhasabah diri
| * kata kata muhasabah diri
* muhasabah diri motivasi
* muhasabah diri sendiri
* materi muhasabah diri
|
EmoticonEmoticon