Benarkah Rasulullah saw Pernah Sesat ?,- Beberapa waktu lalu viral sebuah video dari seorang ustadz yang berasal dari Bandung, di dalam video tersebut dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw pernah sesat. Sungguh tubuh ini serasa gemetar, air mata tak sanggup lagi dibendung, jiwa benar-benar terusik, hawa panas dingin mulai merajami kulit.
Mengapa akhir-akhir ini (zaman sekarang) semakin banyak orang yang tak paham betul ilmu kepesantrenan, mendadak jadi ustadz, dan dengan mudahnya menafsirkan ayat Al-Qur’an ataupun hadits hanya lewat terjemahannya saja. Salah satunya dalam video tersebut, dimana si penceramah mengartikan kata ضَالّاً ayat ke 7 dari surat Adh-Dhuha sebagai sesat.
Itu adalah pemaknaan yang sangat keliru. Karena tak satupun ahli tafsir yang memaknai kata ضَالّاً pada ayat di diatas dengan “sesat”, sebab konteks ayat ini telah ditafsirkan oleh ayat ke 52 dari Qs. Asy-Syuro yang artinya : “dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) itu, dan tidak pula mengetahui apakah iman itu.”
Imam As-Sa’di rahimahullah mengomentari : “Maksud dari ayat tersebut yaitu, bahwasanya Allah mendapati dirimu (Nabi Muhammad saw) dalam keadaan tidak mengetahui apa itu perkara mengenai Al-Qur’an dan apa itu perkara iman, lalu Allah mengajarkan kepadamu (Nabi Muhammad saw) sesuatu yang belum kamu ketahui, dan Dia Pula yang telah mendidik dan membimbingmu agar amal perbuatan dan akhlaqmu semakin baik.”
Jadi, hal tersebut sudah jelas bahwa lafadz ضَالّاً pada QS. Adh-Dhuha : 7 bukan mengartikan bahwa Nabi Muhammad saw pernah sesat. Akan tetapi ketidaktahuan beliau terhadap wahyu (Al-Qur’an) yang belum Allah turunkan dan juga mengenai perkara iman. Dan sebagian mufassir mengartikan kata ضَالّاً dengan “kebingungan”. Hal tersebut merujuk kepada saat Nabi Muhammad saw berujlah kesebuah gua lalu memikirkan bangsa Arab yang masih penuh dengan kejahiliyyahan, kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya.
Lalu kenapa seorang ustadz tersebut mengartikan kata ضَالّاً sebagai sesat ? Ternyata kata ضَالّاً pada ayat tersebut diartikan sesat karena memang jika kata tersebut di artikan kata per kata, artinya adalah sesat (lihat kamus-kamus B. Arab) yang berasal dari kata ضل – يضل – ضلالة . tentunya hal tersebut memang tidak salah jika hanya mengartikan satu kata saja, akan tetapi jika dikaitkan dengan Al-Qur’an dan hadits, tentunya ada beberapa aspek yang diperhatikan. Salah satunya aspek historis dan turunnya ayat atau asbabun nuzul.
Secara historis, kita semua mengetahui bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum menerima risalah adalah pribadi yang ma’sum yaitu pribadi yang terlepas dari segala dosa dan maksiat. Beliau selalu diliputi oleh hikmah, Allah senantiasa menjauhkannya dari segala bentuk perbuatan keji dan munkar serta kesesatan yang dilakukan oleh kaumnya.
Sebelum menjadi Nabi, beliau tidak pernah minum khamar, tidak mau memakan daging hewan yang disembelih dan dipersembahkan untuk berhala. Beliau juga tidak pernah mengikuti atau menghadiri upacara pemujaan terhadap berhala. Allah selalu menghindarkan beliau dari jamuan pesta yang mengandung lahwun (kesia-siaan). Bahkan, sering Allah membuatnya tertidur ketika akan menuju pagelaran musik, dan itu terjadi berkali-kali. Melihat riwayat tersebut, pantaskah Nabi Muhammad saw pernah sesat ?
Bahkan, saking sempurnanya pribadi Rasulullah saw. Sahabat Hassan bin Tsabit ra pernah menggubah sebuah syair pujiaan untuknya :
Sebaik dirimu belum pernah terlihat oleh mataku # Dan belum ada seorang wanitapun yang melahirkan seindah dirimu
Engkau tercipta bebas dari cacat dan kekurangan # seakan-akan engkau tercipta seperti yang kau inginkan
Jadi sudah jelas, Bahwa Rasulullah saw terlepas dari kesesatan. Karena hal tersebut bertentangan dengan kepribadian Rasulullah saw yang ma’sum dan berbudi pekerti luhur. Adapun konteks ayat tersebut mendeskripsikan tentang kebingungan beliau saw.
dan adapun mengenai penafsiran Al-Qur'an, meskipun seseorang bergelar profesor, doktor, maupun gelar akademik lainnya, termasuk dengan bergelar seorang Kyai dan juga ustadz. Tak sepantasnya ia dengan mudah menafsirkan ayat hanya sebatas dengan akal pikirannya saja, tanpa merujuk kepada pendapat jumhur. karena Nabi Muhammad saw pernah bersabda :
"Seseorang yang berkata mengenai Al-Qur'an (menafsirkannya) dengan pikirannya (semata, tanpa merujuk pada ijma'), sekalipun mencocoki kebenaran, maka ia tetap salah" (HR. Abu Daud)
Bagi para ulama yang wara', hadits di atas akan terasa sangat menakutkan, khususnya bagi ulama yang membidangi ilmu tafsir. Hadits tersebut kemudian diperkuat dengan ucapan Imam Ahmad bin ABdul Halim Al-Harrany, beliau mengatakan:
"Seseorang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan akalnya semata, maka sungguh dia telah membebani dirinya dengan hal yang ia sendiri tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Dia telah menempuh jalan yang salah. Dan kalau pun pandangannya benar dalam tafsir tersebut, ia tetap dianggap salah. Sebab ia tidak mengkajinya menurut prosedur (ilmu pentafsiran). Seperti orang yang mengadiri manusia dengan kebodohan akalnya, maka ia akan ditempatkan di neraka. Walaupun keputusannya benar." (Majmu Fatawa : 13/371)
Seperti apa prosedur dalam pentafsiran ? Para ulama telah berijtihad mengenai beberapa syarat yang harus terpenuhi bila seseorang henak menafsirkan ayat Al-Qur'an. Diantaranya :
1. Aqidah seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur'an harus shahih
2. Wajib menguasai ilmu bahasa Arab. Seperti Nahwu, sharaf, dan balaghoh.
3. Wajib menguasai ushul fiqh
4. Wajib menguasai ushuluddin
5. Wajib menguasai ulumul Qur'an, seperti qira'at, asbabun nuzul, nasakh mansukh, qashashul qur'an, dan sebagainya
6. Wajib mengetahui hadits-hadits nabi yang berisi tafsir terhadap ayat-ayat Qur'an. Dan
7. Wajib mengetahui tafsir para sahabat dan ulama terdahulu.
syarat-syarat di atas sengaja diletakkan oleh para ulama untuk membentengi agama dari orang yang tidak berilmu tetapi berani menafsirkan Al-Qur'an dan berfatwa atasnya. sehingga tafsir dan fatwanya menimbulkan bencana bagi dunia dan akhirat orang lain.
Mengapa akhir-akhir ini (zaman sekarang) semakin banyak orang yang tak paham betul ilmu kepesantrenan, mendadak jadi ustadz, dan dengan mudahnya menafsirkan ayat Al-Qur’an ataupun hadits hanya lewat terjemahannya saja. Salah satunya dalam video tersebut, dimana si penceramah mengartikan kata ضَالّاً ayat ke 7 dari surat Adh-Dhuha sebagai sesat.
Itu adalah pemaknaan yang sangat keliru. Karena tak satupun ahli tafsir yang memaknai kata ضَالّاً pada ayat di diatas dengan “sesat”, sebab konteks ayat ini telah ditafsirkan oleh ayat ke 52 dari Qs. Asy-Syuro yang artinya : “dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur’an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur’an) itu, dan tidak pula mengetahui apakah iman itu.”
Imam As-Sa’di rahimahullah mengomentari : “Maksud dari ayat tersebut yaitu, bahwasanya Allah mendapati dirimu (Nabi Muhammad saw) dalam keadaan tidak mengetahui apa itu perkara mengenai Al-Qur’an dan apa itu perkara iman, lalu Allah mengajarkan kepadamu (Nabi Muhammad saw) sesuatu yang belum kamu ketahui, dan Dia Pula yang telah mendidik dan membimbingmu agar amal perbuatan dan akhlaqmu semakin baik.”
Jadi, hal tersebut sudah jelas bahwa lafadz ضَالّاً pada QS. Adh-Dhuha : 7 bukan mengartikan bahwa Nabi Muhammad saw pernah sesat. Akan tetapi ketidaktahuan beliau terhadap wahyu (Al-Qur’an) yang belum Allah turunkan dan juga mengenai perkara iman. Dan sebagian mufassir mengartikan kata ضَالّاً dengan “kebingungan”. Hal tersebut merujuk kepada saat Nabi Muhammad saw berujlah kesebuah gua lalu memikirkan bangsa Arab yang masih penuh dengan kejahiliyyahan, kemudian Allah memberikan petunjuk kepadanya.
Lalu kenapa seorang ustadz tersebut mengartikan kata ضَالّاً sebagai sesat ? Ternyata kata ضَالّاً pada ayat tersebut diartikan sesat karena memang jika kata tersebut di artikan kata per kata, artinya adalah sesat (lihat kamus-kamus B. Arab) yang berasal dari kata ضل – يضل – ضلالة . tentunya hal tersebut memang tidak salah jika hanya mengartikan satu kata saja, akan tetapi jika dikaitkan dengan Al-Qur’an dan hadits, tentunya ada beberapa aspek yang diperhatikan. Salah satunya aspek historis dan turunnya ayat atau asbabun nuzul.
Secara historis, kita semua mengetahui bahwa pribadi Nabi Muhammad saw sebelum menerima risalah adalah pribadi yang ma’sum yaitu pribadi yang terlepas dari segala dosa dan maksiat. Beliau selalu diliputi oleh hikmah, Allah senantiasa menjauhkannya dari segala bentuk perbuatan keji dan munkar serta kesesatan yang dilakukan oleh kaumnya.
Sebelum menjadi Nabi, beliau tidak pernah minum khamar, tidak mau memakan daging hewan yang disembelih dan dipersembahkan untuk berhala. Beliau juga tidak pernah mengikuti atau menghadiri upacara pemujaan terhadap berhala. Allah selalu menghindarkan beliau dari jamuan pesta yang mengandung lahwun (kesia-siaan). Bahkan, sering Allah membuatnya tertidur ketika akan menuju pagelaran musik, dan itu terjadi berkali-kali. Melihat riwayat tersebut, pantaskah Nabi Muhammad saw pernah sesat ?
Bahkan, saking sempurnanya pribadi Rasulullah saw. Sahabat Hassan bin Tsabit ra pernah menggubah sebuah syair pujiaan untuknya :
واحسن منك لم تر قط عيني # و اجمل منك لم تلد النساء
خلقت مبرء من كل عيب # كأنك خلقت كما تشاء
Sebaik dirimu belum pernah terlihat oleh mataku # Dan belum ada seorang wanitapun yang melahirkan seindah dirimu
Engkau tercipta bebas dari cacat dan kekurangan # seakan-akan engkau tercipta seperti yang kau inginkan
Jadi sudah jelas, Bahwa Rasulullah saw terlepas dari kesesatan. Karena hal tersebut bertentangan dengan kepribadian Rasulullah saw yang ma’sum dan berbudi pekerti luhur. Adapun konteks ayat tersebut mendeskripsikan tentang kebingungan beliau saw.
dan adapun mengenai penafsiran Al-Qur'an, meskipun seseorang bergelar profesor, doktor, maupun gelar akademik lainnya, termasuk dengan bergelar seorang Kyai dan juga ustadz. Tak sepantasnya ia dengan mudah menafsirkan ayat hanya sebatas dengan akal pikirannya saja, tanpa merujuk kepada pendapat jumhur. karena Nabi Muhammad saw pernah bersabda :
من قال في القرآن برأيه فأصاب فقد أحطأ
Bagi para ulama yang wara', hadits di atas akan terasa sangat menakutkan, khususnya bagi ulama yang membidangi ilmu tafsir. Hadits tersebut kemudian diperkuat dengan ucapan Imam Ahmad bin ABdul Halim Al-Harrany, beliau mengatakan:
"Seseorang yang menafsirkan Al-Qur'an dengan akalnya semata, maka sungguh dia telah membebani dirinya dengan hal yang ia sendiri tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Dia telah menempuh jalan yang salah. Dan kalau pun pandangannya benar dalam tafsir tersebut, ia tetap dianggap salah. Sebab ia tidak mengkajinya menurut prosedur (ilmu pentafsiran). Seperti orang yang mengadiri manusia dengan kebodohan akalnya, maka ia akan ditempatkan di neraka. Walaupun keputusannya benar." (Majmu Fatawa : 13/371)
Seperti apa prosedur dalam pentafsiran ? Para ulama telah berijtihad mengenai beberapa syarat yang harus terpenuhi bila seseorang henak menafsirkan ayat Al-Qur'an. Diantaranya :
1. Aqidah seseorang yang ingin menafsirkan Al-Qur'an harus shahih
2. Wajib menguasai ilmu bahasa Arab. Seperti Nahwu, sharaf, dan balaghoh.
3. Wajib menguasai ushul fiqh
4. Wajib menguasai ushuluddin
5. Wajib menguasai ulumul Qur'an, seperti qira'at, asbabun nuzul, nasakh mansukh, qashashul qur'an, dan sebagainya
6. Wajib mengetahui hadits-hadits nabi yang berisi tafsir terhadap ayat-ayat Qur'an. Dan
7. Wajib mengetahui tafsir para sahabat dan ulama terdahulu.
syarat-syarat di atas sengaja diletakkan oleh para ulama untuk membentengi agama dari orang yang tidak berilmu tetapi berani menafsirkan Al-Qur'an dan berfatwa atasnya. sehingga tafsir dan fatwanya menimbulkan bencana bagi dunia dan akhirat orang lain.
Allahu A’lam bish-showab
Semoga Bermanfaat !
2 komentar
Oo ternyata begitu yang jelas nya
Iya kaa 😊
EmoticonEmoticon