Kondisi Kita Jauh Lebih Manakutkan Dari Pada Keadaan Nabi Yunus di Dalam Perut Ikan


Kondisi Kita Jauh Lebih Manakutkan Dari Pada Keadaan Nabi Yunus di Dalam Perut IkanKondisi Kita Jauh Lebih Manakutkan Dari Pada Keadaan Nabi Yunus di Dalam Perut Ikan,- Lelaki itu berdiri menghadap jendela, pantulan wajahnya nampak tergurat pada kaca yang transparan itu. Khudory, sapa yang biasa orang lain serukan padanya. Ketika pandangannya menatap keluar jendela, pikirannya ingin mengajaknya bercerita. 

Di balik jendela kaca, pada kota yang menjadi saksi bisu atas pergulatan sejarah dari masa imperium Romawi sampai ke Republik Turki, nampak terlihat paras wajah campuran Asia Tengah dan Eropa hilir mudik di sepanjang jalan. Melihat orang-orang yang berlalu-lalang, pikiran Khudory terus menayangkan tragedi demi tragedi di berbagai belahan dunia. 


Peperangan antara negara, saling sikutnya dalam menduduki jabatan, saling merendahkannya antara satu golongan dengan golongan yang lain, saling caci mencaci, hina menghina,  hujat menghujat, bahkan sebuah nyawa dihilangkan dengan sangat mudah.


Khudory perlahan memejam, wajahnya menunduk. Sementara bibirnya terus menggumamkan doa Dzun Nun Al-Misri Nabi Yunus as “Laa ilaaha illa Anta subhaanaKa innii kuntu minazh-zhoolimiin... Laa ilaaha illa Anta subhaanaKa innii kuntu minazh-zhoolimiin... Laa ilaaha illa Anta subhaanaKa innii kuntu minazh-zhoolimiin... ” Sambil melantunkan tasbih tersebut, pikirannya terus merenungkan makna mendalam dari sepenggal doa yang Allah abadikan dalam QS. Al-Anbiya ayat 87.


Ketika hanyutnya diri pada penghayatan dzikir sang Nabi, pikirannya terus menelisik masuk untuk mengungkap makna implisit akan dzikir tersebut. Perlahan, pikirannya membuka satu per satu catatan yang tersimpan rapi dalam rak ingatannya. Hingga pikiran Khudory pun teringat tulisan Risalah Nur karya ulama Turki terkemuka, Syekh Badiuzzaman Said Nursi. 


Salah seorang ulama yang dengan teguh berupaya sekuat tenaga untuk tetap menyalakan cahaya tauhid di tengah-tengah kaum berhaluan hedonisme[1] dan sekularisme[2] yang saat itu terus menggrogoti kekhalifahan Turki Utsmani. Keteguhan beliau dalam mempertahankan eksistensi tauhid layaknya Sang Kyai KH. Hasyim Asy’ari dan Sang Singa Singaparna KH. Zaenal Musthafa terhadap praktik ritual Seikerei atau upacara menyembah matahari yang dipaksakan para penjajah Jepang kepada rakyat Indonesia.


Dibalik terdiamnya diri menatap keluar jendela, pikiran Khudory terus berlari di atas lembaran demi lembaran Risalah Nur, hingga ia pun menginjak pada kitab Al-Lama’at[3] di bagian Cahaya Pertama[4]. Dalam kitab itu tertulis bahwasanya Syekh Badiuzzaman Said Nursi mengajak umat zaman sekarang harus banyak-banyak mendzikirkan doa tersebut, karena keadaan umat zaman ini, tak ubahnya seperti keadaan Nabi Yunus as di dalam perut ikan, bahkan lebih mengkhawatirkan lagi.
Kondisi Kita Jauh Lebih Manakutkan Dari Pada Keadaan Nabi Yunus di Dalam Perut Ikan

Dikisahkan pada saat itu Nabi Yunus as ditelan ikan besar dan terombang-ambingkan ombak di tengah samudra yang luas. Malam yang pekat pun menurunkan tirainya. Nabi Yunus ditimpa ketakutan dan hampir terputus dari semua pengharapan yang ada dalam dirinya. Sehingga dalam keadaan tak berdaya seperti itu, beliau merendah diri, terus menerus melantunkan doa yang lembut memelas kasih. 



ْ لَّاۤ اِلٰهَ اِلَّاۤ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ ۖ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْن

“Tiada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau. Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang zhalim."


 Di dalam perut ikan yang gelap, di tengah samudra yang luas, di dalam lautan yang ganas, dan malam yang pekat. Dalam suasana yang mencengkam dan menakutkan itu, Nabi Yunus terus merintih melantunkan doa itu siang dan malam. Dengan penuh ketawakkalan dan pengharapan, Nabi Yunus memandang bahwa tiada lagi tempat bergantung di tengah keputus-asaan selain Dzat Yang Maha Suci yang dapat menundukan ikan besar, lautan, malam, sekaligus angkasa.


Dengan kekuatan batin dan keteguhan hati dalam berpasrahnya diri keharibaan Illahi, melalui celah-celah tauhid yang terang benderang, terbukalah rahasia Allah hingga munajat yang ikhlas itu dapat menundukan malam, ikan besar, serta lautan secara bersamaan. 


Bukan hanya itu, bahkan dengan cahaya tauhid yang murni, perut ikan yang tadinya gelap berubah laksana perut kapal selam, lautan yang tadinya ganas serta ombak yang menghantam berubah laksana taman yang penuh dengan keindahan dan kesejukan angin. 


Awan gemawan pun berarakan di bawah cahaya rembulan, dan purnama pun menampakan sinaran wajahnya bak pelita terang yang muncul di atas kepala beliau. Semua itu, lahir karena munajat ikhlas dengan penuh pengharapan dalam ketidak berdayaan diri. Hingga pada akhirnya Nabi Yunus pun keluar menuju pantai keselamatan.


Khudory menghela napas, pandangannya mengarah pada bangunan-bangunan tinggi menjulang yang di bawahnya dipenuhi orang-orang berlalu lalang. Sementara telinganya terus terngiang ucapan Syekh Badiuzzaman Said Nursi tentang sebuah perumpamaan keadaan Nabi Yunus dengan kondisi zaman sekarang. “Sesungguhnya kita berada pada kondisi yang jauh lebih menakutkan dan penuh ancaman daripada kondisi yang dialami Nabi Yunus as.” Tutur Syekh Badiuzzaman Said Nursi. 


Beliau melanjutkan. – “Hal itu dikarenakan:

Pertama, malam yang menaungi kita adalah masa depan; kita melihat masa depan layaknya kita melihat di kegelapan malam; tidak terlihat apapun. Dan masa depan kita, jika kita melihatnya dengan pandangan acuh, tampak gelap dan menakutkan, bahkan seratus kali lebih pekat daripada malam yang dilalui Nabi Yunus.

Kedua, lautan kita adalah bumi yang setiap riaknya membawa ribuan bahkan jutaan jenazah. Karena itu, ia adalah lautan yang seratus kali lipat lebih menakutkan daripada lautan tempat Nabi Yunus dilemparkan.


Ketiga, ikan besar kita adalah hawa nafsu dan amarah yang kita bawa. Ia adalah ikan yang siap menelan dan memusnahkan kehidupan akhirat kita. Ikan itu lebih rakus daripada ikan yang menelan Nabi Yunus. Karena ikan yang menelan Nabi Yunus hanya melenyapkan puluhan dan mungkin sampai seratus tahun kehidupan kita dunia saja, sementara ikan yang bernama hawa nafsu dan amarah yang ada dalam diri kita, ia selalu berupaya menghancurkan jutaan tahun kehidupan abadi kita yang menyenangkan dan penuh kebahagiaan di akhirat sana.”


“Laa ilaaha illa Anta subhaanaKa innii kuntu minazh-zhoolimiin...”  Lirih Khudory dengan tertunduk. Sementara hatinya bergetar hebat tatkala larutnya diri dalam penghayatan ayat Illahi.


Tasikmalaya, Jum'at 02 Maret 2018
*Sepenggal episode dari buku ke dua.*
___________________
[1] Hedonisme adalah suatu paham atau pandangan yang menganggap bahwa kesenangan dan kenikmatan dunia sebagai tujuan paling utama dalam hidup.
[2] Sekularisme adalah paham atau pandangan yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama.
[3] Al-Lama’at adalah bagian dari kitab Risalah Nur. Risalah Nur atau Rosailun Nur sendiri terbagi menjadi 4 kitab tebal; Al-Lama’at, Al-Maktubat, Al-Kalimat dan Asy-Syu’at.
[4] Cahaya Pertama maksud adalah Bab Pertama dalam kitab Al-Lama’at. Syekh Badiuzzaman Said Nursi tidak menamakan tiap bab tulisannya dengan ‘bab’, tapi dengan ‘Cahaya’ . Kitab Al-Lama’at  sendiri terdiri dari 33 cahaya. Cahaya ke 31- ke 33, tidak termaktub dalam kitab tersebut. Melainkan di kitab Al-Kalimat.


EmoticonEmoticon