Dalil Merayakan Maulid Nabi saw bag. 1,- Bagi setiap muslim yang mempunyai ghirah kecintaan terhadap sang Nabi saw, bulan Robi’ul Awwal (maulid) merupakan moment yang sangat menggembirakan. Betapa tidak, di bulan ini (hampir 15 abad yang lalu) makhluk paling mulia, manusia paling lembut hatinya, seseorang yang terjaga dari dosa dan maksiat (maksum), dan nabi dan Rasul terakhir, dilahirkan ke muka bumi sebagai rahmat bagi semesta.
Kegembiraan ini pun diekspresiakn dengan berbagai hal yang positif, seperti lantunan ayat suci Al-Qur’an, shalawat, sedekah, mauidhoh hasanah, uraian tentang sirah dan sifar Rasulullah saw, yang akan menambah rasa cinta umat terhadap beliau saw; sang tauladan terbaik.
Tradisi ini telah dipraktekan oleh para pendahulu kita yang sholeh sejak abad ke 4 H dengan menghidupkan malamnya dengan melakukan berbagai macam ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut Imam As-Suyuti, bahwa pada masa itu yang mengadakan maulid pertama kali secara formal seperti sekarang inni adalah penguasa Irbil, Raja Mudhaffar bin Abu Said seorang raja yang sangat baik dan dermawan. Bagi beliau, merayakan maulid Nabi adalah bentuk penghormatan kepadanya, dan menghormatinya adalah sebuah kewajiban. (Lihat Muassasah Al-Risalah, 1993. Juz XXII, h. 336)
Namun belakangan ini terdapat suara-suara sumbang yang menentang perayaan maulid ini. Dengan berbagai argumen mereka semua menentang adanya perayaan maulid, dan bahkan mereka melakukan tuduhan-tuduhan keji terhadap perayaan maupun orang yang malaksanakan maulid. Jika saja mereka mau melirik sedikit terhadap sirah nabawiyyah, tentunya mereka akan mengerti mengapa maulid itu perlu di adakan.
Karena sejatinya inti dari perayaan maulid adalah agar generasi-generasi Islam zaman sekarang, bisa mengenal lebih terhadap Nabinya serta untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap beliau saw, dan juga sebagai bentuk suka cita dan kegembiraan umat Islam terhadap kelahiran sang Nabi.
Bayangkan saja:
Kegembiraan ini pun diekspresiakn dengan berbagai hal yang positif, seperti lantunan ayat suci Al-Qur’an, shalawat, sedekah, mauidhoh hasanah, uraian tentang sirah dan sifar Rasulullah saw, yang akan menambah rasa cinta umat terhadap beliau saw; sang tauladan terbaik.
Tradisi ini telah dipraktekan oleh para pendahulu kita yang sholeh sejak abad ke 4 H dengan menghidupkan malamnya dengan melakukan berbagai macam ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Menurut Imam As-Suyuti, bahwa pada masa itu yang mengadakan maulid pertama kali secara formal seperti sekarang inni adalah penguasa Irbil, Raja Mudhaffar bin Abu Said seorang raja yang sangat baik dan dermawan. Bagi beliau, merayakan maulid Nabi adalah bentuk penghormatan kepadanya, dan menghormatinya adalah sebuah kewajiban. (Lihat Muassasah Al-Risalah, 1993. Juz XXII, h. 336)
Namun belakangan ini terdapat suara-suara sumbang yang menentang perayaan maulid ini. Dengan berbagai argumen mereka semua menentang adanya perayaan maulid, dan bahkan mereka melakukan tuduhan-tuduhan keji terhadap perayaan maupun orang yang malaksanakan maulid. Jika saja mereka mau melirik sedikit terhadap sirah nabawiyyah, tentunya mereka akan mengerti mengapa maulid itu perlu di adakan.
Karena sejatinya inti dari perayaan maulid adalah agar generasi-generasi Islam zaman sekarang, bisa mengenal lebih terhadap Nabinya serta untuk menumbuhkan rasa cinta terhadap beliau saw, dan juga sebagai bentuk suka cita dan kegembiraan umat Islam terhadap kelahiran sang Nabi.
Bayangkan saja:
“Jika orang seperti Abu Lahab saja yang jelas-jelas jahat, kafir dan tempatnya dineraka mendapatkan keringan hukuman setiap hari Senin karena ia bergembira lalu membebaskan hambas sahaya sebab lahirnya keponakan beliau (Nabi Muhammad saw). Lalu bagaimana jika yang bergembira itu adalah seorang muslim yang sepanjang hidupnya senantiasa melaksanakan perintah-perintah Allah dan mencintai nabi-Nya ?”
EmoticonEmoticon